Senin, 29 November 2010

Kisah dari RPA TKI


Kisah Pilu Anak 'Haram' TKW
Ahmad Fadli/ Era Baru News Senin, 06 September 2010


rpatkiPengelola RPA TKI, Yudhi, bersama anak-anak TKW yang dititipkan.(Foto : Ahmad Fadli/ Era Baru)

 Jakarta - Gillian Rashed tersenyum lebar. Sambil tengkurap, sesekali bayi berusia tujuh bulan itu menggerak-gerakkan tangan dan kaki, seakan sedang belajar berenang.
Kulit Gillian putih mulus, mata bulat, dan hidung mancung khas Timur Tengah. Cakep dan lucu. Siapa sangka bayi yang akrab dipanggil Gilang itu ternyata tidak dikehendaki ibunya, seorang Tenaga Kerja Indonesia  Wanita  (TKW) di Qatar.

Ketika mendarat di Bandara Soekarno Hatta sepulang dari Qatar, sang ibu langsung menitipkan Gilang ke rumah penitipan anak (RPA) TKI secara diam-diam.
 "Sudah hampir dua bulan Gilang di sini, sudah seperti anak saya sendiri," kata Yudhi pengelola RPA tersebut sambil merengkuh dan menciumi bayi itu. 

Gilang adalah salah satu penghuni RPA TKI. Dia di situ bersama tiga bayi lain. Mereka adalah Najia Nurfatilah Sohar, 14 bulan; Rizki Ardiansyah, 13 bulan; dan Sanan 24 hari.
Sejak berdiri pada Februari 2009, RPA TKI, sebuah lembaga independen telah menyelamatkan sepuluh bayi hasil hubungan gelap TKI. 

Menurut Yudhi, salah satu pengelola RPA TKI, selain empat yang masih di penampungan, dua bayi telah diadopsi orang tua asuh, dan empat lainnya diambil kembali oleh ibunya.
Semua bayi penghuni RPA merupakan anak hasil hubungan gelap atau buah perkosaan terhadap ibunya di luar negeri. Ibu bayi-bayi tak berdosa yang bekerja sebagai pendulang devisa itu kadang terlalu malu membawa pulang bayinya.
Karena itu, tak sedikit tenaga kerja wanita (TKW) yang lebih memilih menelantarkan atau membuang bayi-bayi itu di toilet sesaat setelah mendarat di terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta. "(Kejadian) itu sebelum RPA TKI ini berdiri," tutur Yudi.

RPA TKI sendiri terletak di perkampungan padat penduduk di belakang kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Jalan Adi Sucipto, Tangerang, Banten.
Karena biaya terbatas, pria 29 tahun itu hanya mampu menyewa sebuah rumah di gang sempit berjarak sekitar 500 meter dari runway Terminal I Bandara Soekarno-Hatta.
Tentu saja suara bising pesawat selalu terdengar hampir setiap menit. Menurut alumnus IAIN Serang itu, bayi-bayi penghuni RPA tersebut mempunya kisah pilu.
"Kisah Gilang paling menyentuh," katanya. 

Ibu Gilang, sebut saja namanya Lily, semula bekerja sebagai pembantu di peternakan onta di Qatar. Pekerjaan keras dan kerap berhari-hari di padang pasir menggembala ratusan onta membuat Lily tidak betah.
Meski tak memegang secuil dokumen, dia nekat melarikan diri dari majikan.
Dalam pelariannya, Lily ditolong seorang pekerja asing asal Syria bernama Aziz. Setelah beberapa lama tinggal bersama, timbul lah rasa suka sama suka dan terjadilah hubungan gelap. 

Namun, malang bagi Lily, dia tertangkap petugas imigrasi dan ditahan hampir 14 bulan di penjara. "Ketika berada di penjara, dia (Lily, Red) baru sadar telah hamil," ungkap Yudhi.
Gilang lahir di balik jeruji besi tanpa sepengetahuan ayah kandungnya. Bayi berkulit putih itu dibawa pulang ke Indonesia dalam usia empat bulan. Aziz juga tak pernah tahu bahwa dia sebetulnya telah menjadi ayah.

Ketika mendarat di Indonesia, Lily tak berani membawa Gilang ke kampung halamannya, Sukabumi. Sebab, dia punya suami dan tiga anak. Gilang nyaris ditelantarkan di bandara sebelum diselamatkan oleh Yudhi dan dibawa ke RPA pada 24 Februari 2010 lalu.
"Sampai sekarang suami TKW itu juga belum tahu bahwa istrinya punya anak hasil hubungan gelap ini," katanya. Bapak satu anak itu beberapa kali membawa Gilang menemui ibunya secara diam-diam, sekadar melepas kangen. Namun, keberadaannya tetap dirahasiakan dari keluarga besarnya di Sukabumi. 

Menurut Yudhi, sesuai standar ketentuan RPA TKI, pihaknya memberikan waktu enam bulan bagi TKI itu untuk menjelaskan ‘kondisi’ itu kepada keluarga.
RPA juga siap mendampingi dalam proses mengungkapkan keberadaan si ‘anak haram’ itu kepada keluarga TKW. "Setelah itu baru diberi opsi apakah anak ini mau dibawa kembali atau dititipkan di sini," jelas Yudhi.

Cerita tak kalah pilu juga dialami bayi Najia Nurfatilah. Bayi perempuan itu sengaja dititipkan di RPA karena ibunya tidak ingin trauma masa lalunya muncul kembali.
Sang ibu, sebut saja bernama Rahma, adalah TKw korban perkosaan ketika bekerja di Riyadh, Arab Saudi. Rahma menandatangani kontrak sebagai pembantu rumah tangga selama dua tahun. Namun, setelah beberapa bulan bekerja tanpa digaji, dia memutuskan lari.
Lacur nasib, sudah jatuh tertimpa tangga berat. Perempuan asal Jepara itu lari menggunakan taksi sewaan. Eh... si pengemudi malah memperkosanya. "Rahma, kemudian dilaporkan dan diserahkan ke polisi Arab Saudi. Dalam dinginnya penjara, lahirlah Najia yang kemudian ikut dideportasi bersama Rahma kembali ke Indonesia," tutur Yudhi.

Di tanah air, Najia yang berdarah Bangladesh-Indonesia itu dibawa pulang ke Jepara. Namun, suaminya menolak mentah-mentah kedatangan Rahma dan Najia. Dalam kondisi panik. Rahma kembali lagi ke terminal 4 di Jakarta dan meminta bantuan Yudhi. "Tak terasa sekarang hampir 14 bulan dia dirawat di sini," kata pria berkacamata itu dengan mata berkaca-kaca.
Alumnus Ponpes Walisongo, Ponorogo, itu mengatakan bahwa RPA TKI didirikan atas berbagai faktor. Antara lain, didasari niat menyelamatkan bayi-bayi TKI dari tangan para penjual bayi.  Setidaknya, itulah yang diamanatkan Kepala BNP2 (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan) TKI Mohammad Jumhur Hidayat, ketika bersedia menjadi donor tunggal bagi lembaga nonprofit itu.

Lembaga penitipan anak di rumah kontrakan itu memang tidak memungut biaya apa pun dari para TKI yang menitipkan bayinya. Semula shelter itu direncanakan memelihara bayi-bayi tersebut maksimal enam bulan. Namun, dalam praktiknya, banyak orang tua bayi itu yang menandatangani surat penyerahan anaknya. Bukannya berencana mengambil kembali anaknya. Karena itu, RPA TKI, dengan seizin Depsos, membuka peluang bagi para dermawan yang ingin mengambil anak angkat anak-anak para TKI itu.

Sayang, hal itu kerap disalahgunakan orang lain. Tak sedikit orang berduit yang datang ke RPA dan ingin membeli bayi itu bagaikan membeli kambing saja. Salah satunya bayi Aurora yang kini telah diadopsi orang tua asuh.
Ketika masih dirawat di RPA. beberapa orang datang don menawarinya cek agar dia memproses surat adopsi Aurora. Tawaran terbesar senilai Rp 20 juta. Namun. dia mengaku tidak tergoda iming-iming itu. Oleh karenanya demi alasan keamanan, dia mempekerjakan tenaga keamanan.

"Memang operasional RPA ini kerap terkendala dana. Tapi, saya lebih baik utang bank daripada menjual bayi," tegasnya. Lebih lanjut Yudhi memaparkan, biaya operasional RPA rata-rata Rp 10 juta per bulan. Biaya itu antara lain untuk honor dua babysitter dan dua tenaga keamanan. Pengeluaran paling besar untuk membeli susu dan popok bayi.
Dana tersebut umumnya diperoleh dari para dermawan. Namun, donator tetapnya, ya Jumhur Hidayat dan Yayasan Puri Cikeas.  "Kami juga dibantu Dinas Sosial Tangerang," kata Yudhi.

Dia mengakui memasang standar tinggi bagi calon orang tua asuh. Misalnya calon orang tua angkat harus mampu secara finansial menghidupi anak angkatnya.
Bagaimana jika tidak ada yang mengadopsi bayi-bayi tersebut? Yudhi tidak khawatir. Dia siap secara mental dan spiritual untuk membesarkan mereka.
"Selama saya masih bernyawa, saya akan menghidupi mereka dengan cara apa pun. Bahkan sampai mereka lulus SMA dan mampu hidup mandiri. Mereka adalah anak-anak bangsa yang harus dilindungi dengan sepenuh hati dan saya siap melakukannya," tutup Yudhi. (ahf/waa)

http://erabaru.net/featured-news/48-hot-update/17192-rpa-tki-kisah-pilu-anak-haram-tkw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar